Bismillah photo besmellah.gif

______________________________

______________________________

Sabtu, 06 Desember 2014

Potret Imam As-Syafi’I : Sang Mujaddid

          Namanya adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah.
          Beliau dilahirkan di Gaza tahun 150 Hijriyah pada tahun dimana Imam Abu Hanifah An Nu’man meninggal. Ayahnya meninggal dalam usia muda, sehingga Muhammad bin Idris As-Syafi’I menjadi yatim dalam asuhan ibunya. Sebagai sosok yang pantas digelari sang “Mujaddid” Imam al-Syafii bukan saja dikenal dalam dan luas ilmuanya. Akhlak dan kepribadiannya juga sangat mengagumkan. Ibadahnya luar biasa. Imam Syafii sendiri bercerita, ia lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafii ditinggal ayahnya sejak bayi dan tumbuh sebagai anak yatim dan miskin. Pada usia 2 tahun, ia dibawa Ibunya ke Mekkah. Di Baitullah, beliau menghafal al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra Arab, termasuk syair. Selama bertahun-tahun, Syafi’i kecil belajar bahasa di tengah suku Hudzail, yang dikenal sangat fasih bahasa Arabnya.
           Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
          Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.

Awal Menuntut Ilmunya
            Imam An-Nawawi membahas tentang Imam Syafi’I yang secara ringkasnya adalah sebagai berikut: “Imam Syafi’I memperdalam fiqh dari Muslim bin Khalid Az-Zanji dan imam-imam Makkah yang lain. Kemudian dia pindah ke Madinah dengan tujuan berguru kepada Abu Abdillah Malik bin Anas. Ketika di Madinah, Imam Malik bin Anas memperlakukan As-Syafi’I dengan mulia karena nasab, ilmu, analisis, akal dan budi pekertinya. Imam As-Syafi’I kemudian membaca dengan cara menghafal kitab Al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) kepada Imam Malik. Mendengar bacaanya terhadap Al Muwaththa’ ini, Imam Malik merasa kagum sehingga dia meminta agar Imam As-Syafi’I untuk membacanya kembali. Setelah berapa lama bersama Imam Malik, akhirnya dia berkata kepada As-Syafi’I, “Bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya kamu dimasa mendatang akan memiliki sesuatu yang agung.” Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Imam malik berkata kepada Imam As-Syafi’I, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyinari hatimu dengan nurNya, maka jangan padamkan nurNya dengan berbuat maksiat.” Setelah berguru dengan Imam Malik, Imam As-Syafi’I lalu pindah ke Yaman. Dari Yaman, dia lalu pindah ke Irak untuk menyibukkan dirinya dalam ilmu agama. Selama tinggal di Irak ini, dia menghasilkan kitab yang bernama Kitab Al-Hujjah yang kemudian dikenal Qaul Qadim Imam As-Syafi’i. Pada tahun 199 Hijriyah, dia meninggalkan Irak menuju Mesir. Semua karyanya yang dikenal dengan Qaul Jadid ditulis di Mesir. Ketika di Mesir inilah nama Imam As-Syafi’I banyak disebut-sebut orang sehingga dirinya menjadi tujuan banyak orang untuk menimba ilmu, baik yang berasal dari Irak, Syam, maupun Yaman.”

Karya tulis
Ar-Risalah

         Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i
          Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah
         Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm
        Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

Guru dan Murid-muridnya
Guru-guru Imam Syafi’I diantaranya: Muslim bin Khalid Az Zanji, Imam Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Hatim bin Isma’il.
Murid-muridnya: Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Imam Ahmad bin Hambal, Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Jizi.

Kecerdasannya
           Dihikayatkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid. Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya. Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih.

Inilah Profil tokoh yang digelari sang mujaddid, beliau bukanlah orang asal-asalan berpendapat.

*Foto: Gedung Center  for Islamic And Occidental Studies (CIOS) ISID